Zakat adalah salah satu kewajiban agama yang
tinggi nilainya, bahkan masuk dalam rangkaian
rukun Islam yang lima. Melalaikan kewajiban zakat
bukan hanya dosa besar, tapi pada gilirannya bisa
sampai kepada kekufuran, yaitu bila kita
mengingkari kewajibannya.
Ada banyak jenis zakat yang disebutkan di dalam
hadits-hadits nabawi dan juga kitab fiqih para ulama
klasik. Namun umumnya kita yang tinggal di kota
dan di zaman modern ini, nampaknya tidak banyak
yang dari jenis harta kita yang terkena kewajiban
zakat.
Zakat ternak, zakat pertanian, zakat perdagangan,
atau pun zakat rikaz dan ma’adin, nyaris semuanya
tidak masuk dalam daftar harta yang kita miliki. Lalu
apakah kita jadi sama sekali tidak bayar zakat?
Apakah kita hanya bayar zakat fithrah saja?
Tulisan berikut ini merupakan bentuk kajian fiqih
kontemporer, yang mendasarkan ijtihadnya pada
qiyas antara teks Al-Quran dengan realitas di masa
sekarang.
Kajian ini tentu saja tidak akan kita temukan di
dalam kitab fiqih klasik empat mazhab. Sebab di
masa itu memang belum dikenal penggunaan uang
kertas seperti sekarang ini. Di masa itu orang-orang
bermuamalah dengan menggunakan emas dan
perak sungguhan, yang fungsinya bukan sebagai
perhiasan, melainkan sebagai uang.
Sedangkan di masa sekarang ini, tidak ada satu
pun negara yang mengakui keping emas atau perak
sebagai alat pembayaran. Bahkan berjual-beli
dengan menggunakan keping emas atau perak di
masa kita sekarang ini dianggap sebagai perbuatan
melawan hukum.
Dan pada kenyataannya, kasir di pasar juga tidak
akan mau menerima pembayaran belanja kita kalau
kita sodorkan keping emas atau kepingan perak.
Kepingan emas dan perak di masa sekarang
merupakan aset dan koleksi kekayaan suatu
moseum, yang dilindungi dan dilestarikan sebagai
warisan peninggal bersejarah.
Di sini lain, emas atau perak yang kita miliki di
masa sekarang, dan yang umumnya dijual orang di
pasar hanyalah emas-emas berupa perhiasan
wanita, seperti cincin, gelang tangan, gelang kaki,
kalung, anting, giwang, mahkota dan lainnya.
Bahkan kala seorang suami menikahi calon
istrinya dengan mahar emas sekian gram, bentuk
fisiknya selalu berupa perhiasan dan bukan keping
Dinar atau Dirham yang biasa dipakai orang di abad-
abad yang lalu.
Dalam kajian ini, Penulis mencoba menampilkan
ijtihad ulama kontemporer yaitu Dr. Wahbah Az-
Zuhaili, seorang ahli fiqih bermazhab Syafi’I yang
paling berkompeten bicara fiqih sesuai displin ilmu
fiqih. Beliau menetapkan bahwa uang kertas yang
kita miliki itu wajib dikeluarkan zakatnya,
sebagaimana dahulu kita diwajibkan bayar zakat
atas keping dinar dan dirham.
Tentu saja apa yang beliau sampaikan ini
melahirkan pro dan kontra di kalangan ulama
kontemporer lainnya. Hal itu sah-sah saja dan biasa.
Cuma kalau dibandingkan dengan zakat-zakat
kontemper lainnya seperti zakat profesi, zakat
perusahaan, zakat barang mewah, zakat harta
produkif atau pun zakat perabotan mewah,
sebenarnya zakat uang kertas ini tidak terlalu
banyak melenceng jauh dari aslinya berupa zakat
emas dan perak.
Titik kritisnya sebatas bahwa emas dan perak di
masa kita sudah tidak lagi digunakan sebagai alat
tukar, digantikan posisinya dengan lembaran kertas
yang disahkan negara. Tinggal nalar kita saja yang
kemudian akan menjawab, apakah bisa kita terima
atau tidak.
Wallahu a’lam bishshawab
Ahmad Sarwat, Lc.,MA
link